[Novel] Behind The Stage - The Music Competition

Ini adalah salah satu proyek novel saya yang lumayan serius dan dengan ide yang cukup kompleks. Saat ini baru beberap chapter saja yang sudah ditulis. Mengapa belum dilanjut lagi? Karena saat ini sedang dilakukan perombakan ide. Akan ada beberapa alur cerita yang sedang dikembangkan lagi. Semoga saja proyek yang ini akan menjadi salah satu hasil saya yang bisa dinikmati orang lain.

Cerita ini menceritakan kisah dari sebuah acara kompetisi musik. Bagaimana hubungan antar peserta, antar juri, serta juri dengan peserta. Diceritakan urut dan detil setiap minggu karantinanya hingga saat performance masing-masing peserta di panggung. Bagaimana konflik yang rumit dapat terjadi dan tentu saja banyak kejutan yang akan diberikan setiap minggunya.

------------------------------------------------------------
Behind The Stage

The Music Competition

Kring.. Kring..
Dering telepon terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Suara piano yang sedari tadi terus mengalun terpaksa terhenti. Orang yang memainkan piano itu berjalan menuju arah telepon yang berdering terus menerus kemudian mengangkatnya.
“Halo, bisa bicara dengan Violla Melody?” tanya suara di seberang telepon.
“Iya, saya sendiri. Saya berbicara dengan siapa ya?” tanya sang pianis tadi yang ternyata bernama Violla Melody.
“Oh, hai mbak Violla. Ini saya Dian dari METV –Music and Entertainment Television-. METV akan mengadakan sebuah kompetisi musik bernama Indonesian Best Performer atau biasa disebut IBP. Dan kami dari METV ingin meminta mbak Violla sebagai salah satu jurinya. Apakah mbak Violla berkenan?”
“Tunggu, juri? Kenapa harus saya? Saya kan tergolong baru di industri musik ini. Saya rasa banyak musisi lain yang lebih lama berkecimpung di dunia musik dan lebih pantas menjadi juri.” Violla tampak terkejut.
“Tapi mbak, kami rasa mbak Violla layak untuk posisi ini. Ketiga juri lainnya pun setuju untuk meminta mbak Violla menjadi juri.”
“Anda yakin tidak salah orang?” Violla memastikan sekali lagi.
“Tidak, mbak. Kami yakin sekali,” ucap Dian tegas.
“Baiklah akan saya coba,” ucap Violla akhirnya.
“Terima kasih, mbak. Nanti akan saya kirim email mengenai waktu dan tempat untuk rapat pertama kita.” Tampak jelas suara Dian yang kegirangan mendapati Violla menyetujui permintaannya.
“Baiklah. Terima kasih, mbak Dian. Saya tunggu emailnya,” ucap Violla mengakhiri pembicaraan dan telepon pun terputus.

            Violla Melody adalah seorang musisi pendatang baru. Sejak kecil Violla sudah dikenalkan musik oleh orang tuanya. Orang tua Violla bukanlah musisi. Mereka adalah pengusaha. Mereka menyukai musik, namun karena tidak dapat bermain musik, mereka mengenalkan musik pada anaknya sejak kecil supaya bisa bermain musik.
Violla sudah mulai belajar vokal dan bermain piano sejak usia lima tahun. Violla pun berlanjut mempelajari gitar, bass dan drum saat melihat teman-temannya bermain band di SD kelas 6. Memasuki masa SMA, Violla menambah kegiatannya dengan belajar biola. Dari sekian banyak alat musik yang dia pelajari, piano dan biola lah yang menjadi fokus utamanya. Dan jangan lupa dengan bernyanyi. Suara indah Violla dan didukung dengan teknik bernyanyi yang baik membuat siapa saja yang mendengarnya akan terpesona.
Lulus dari SMA, Violla memilih untuk melanjutkan ke jurususan musik di UMI –Universitas Musik Indonesia-. Selama dua tahun menjadi mahasiswi UMI, Violla mengikuti program transfer ke universitas luar Indonesia dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan dua tahun sisa masa kuliahnya di Juilliard, New York. Siapa yang menyangka, sosok sederhana seperti Violla dapat masuk ke sekolah musik ternama di dunia.

Selama di New York, Violla rajin mengikuti orkestra yang diadakan di kampusnya. Dia juga tergabung pada sebuah grup musik lokal yang cukup terkenal bernama Starlight Orchestra. Dan pada tahun terakhir di masa kuliahnya, Violla berhasil merilis sebuah album instrumental berjudul Summer and Winter. Di album ini, Violla bermain biola dan berkolaborasi dengan seorang pianis terkenal di New York bernama David Brown.
Lulus dari Juilliard pada usia hampir menginjak 22 tahun, Violla memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mencoba berkarir di tanah airnya. Walaupun begitu, Violla tetap mendapat undangan untuk tampil di acara-acara tertentu di New York atau mengikuti kompetisi-kompetisi musik  internasional.

Selama satu tahun pertamanya berkarir di Indonesia, Violla berhasil merilis beberapa single. Dan ternyata sambutan masyarakat Indonesia terhadap lagunya sangat positif. Memasuki tahun keduanya, Violla pun merilis album pertamanya berjudul The Beginning. Di dalam albumnya ada beberapa lagu yang merupakan ciptaan Violla sendiri dan ada dua lagu instrumen permainan piano dan biola Violla. Dan sekarang, baru beberapa bulan sejak rilis album pertamanya, Violla diminta menjadi juri di sebuah ajang musik bernama IBP.

Indonesian Best Performer atau biasa disebut IBP adalah ajang kompetisi musik yag diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi swasta, METV. Fokus pada kompetisi ini bukanlah sekedar memiliki suara bagus atau pandai bernyanyi, tapi penyajian memegang peran penting disini. Diharapkan para peserta dapat mempersembahkan sebuah aksi panggung yang menghibur.
Juri di IBP ada empat orang. Tommy Winata, seorang komposer berusia 40 tahun yang sudah 10 tahun berkecimpung di duni musik. Juri kedua ada Renata Kusuma, seorang penyanyi berusia 30 tahun yang sudah mencetak banyak album yang selalu laris dan terjual jutaan copy. Juri ketiga ada Alvin Pratama, seorang pianis sekaligus leader sebuah band ternama di Indonesia. Alvin merupukan pianis muda berbakat, di usianya yang baru menginjak 25 tahun, dia sudah mengikuti jejak ayahnya –seorang leader dari sebuah grup orkestra- di bidang musik. Dan juri terakhir yang direkrut oleh METV adalah Violla Melody, tahun ini baru akan berusia 23 tahun tapi namanya sudah dikenal baik di dalam dan luar negeri.

Hari ini keempat juri akan berkumpul untuk pertama kalinya. Mereka akan membahas terlebih dahulu, kriteria seperti apa sih yang berhak lolos ke babak berikutnya. Selain itu, mereka juga ingin mengobrol santai, saling mengenal terlebih dahulu antar masing-masing juri supaya nantinya tidak canggung selama bekerja sama.

“Pagi om Tommy, mbak Renata dan mas Alvin, maaf saya terlambat,” ucap Violla sambil terengah-engah.
“Enggak apa-apa. Kamu Violla ya? Wah hebat masih muda sudah dipilih jadi juri saja,” kata Tommy.
“Saya juga enggak tahu, om. Tiba-tiba aja dihubungi sama orang METV,” jawab Violla seraya duduk di kursi kosong yang tersisa.
“Violla umur berapa emang?” tanya Renata.
“Saya 22 tahun, mbak, baru setahun yang lalu diwisuda, hehe.”
“Vi, gue kaget lho, ternyata kita sama-sama jadi juri disini, hahaha, dunia sempit banget ya,” ucap Alvin seraya tertawa.
“Iya, Vin. Enggak nyangka aja kita ketemu lagi disini, hehehe.”
“Lho, kalian ini teman lama ya?” tanya Tommy.
“Kebetulan kami ini sedang menyusun suatu proyek bersama, om. Kolaborasi gitu, band saya dan featuring dia. Rencananya enggak cuma nyanyi, Violla juga bakalan main biola bareng band saya,” jelas Alvin.
“Wah, kalian ini bener-bener deh, generasi muda berbakat. Salut saya sama kalian. Kalian berdua emang benar-benar cocok. Iya kan, mas Tommy?” tanya Renata sambil menyikut Tommy. Tommy pun mengiyakan. Alvin dan Violla hanya tersenyum meresponnya. Obrolan pun berlanjut ke hal-hal serius mengenai penjurian IBP.
“Namanya juga IBP, Indonesian Best Performer. Jadi, kita enggak cuma melihat suara dan teknik bernyanyi yang bagus aja, tapi juga melihat bagaimana kreatifitas mereka mengolah musik dan bergerak di panggung. Jadi yang kita lihat ya satu paket perform. Bukan terpisah-pisah,” jelas Tommy. Setelah semua paham, mereka pun memutuskan untuk menyudahi pertemuan kali itu.
“Vi, gue antar ya? Gue lihat lo enggak bawa mobil kan?” tanya Alvin. Belum juga Violla menjawab, sudah diserbu oleh Renata.
“Udah sana, Vi, bareng Alvin aja sana.”
Akhirnya Violla pun memenuhi ajakan Alvin dan diikuti seruan “ciee” dari Renata. Penyanyi senior satu itu iseng juga ternyata.


***




Dua puluh hari audisi yang diikuti oleh puluhan ribu peserta dari seluruh pelosok Indonesia akhirnya selesai sudah. 100 orang telah terpilih untuk melaju ke babak berikutnya. Disana peserta dibagi menjadi 20 grup dengan masing-masig grup berisi 5 orang. Dari 100 orang itu akhirnya dipilih menjadi 30 orang. Cukup sulit bagi keempat juri untuk menentukan siapa yang berhak maju ke babak berikutnya. Tak dipungkiri ada beberapa orang yang langsung dapat memikat juri, mereka dengan mudah lolos ke babak berikutnya. Namun ada juga yang harus berusaha lebih keras untuk dapat lolos. Terakhir, 10 orang akan dipilih dan akan maju ke babak Star Show.

10 orang yang akhirnya terpilih adalah Agnes Agatha, Christian Ferindo, Nathanael Farkas, Thalia Kasih, Kian Alputra, Crysta Larasati, Rayana Mega, Anggara Bion, Miko Dwisastra, Derren Donovan, Aliona Putri dan Sania Dewi. Selama Star Show, para finalis akan dikarantina di sebuah rumah yang cukup besar. Di rumah ini dibagi menjadi empat area. Area putra, area putri, area berlatih dan area bersantai. Masing-masing di area putra dan putri terdapat tiga buah kamar yang masing-masing kamar akan diisi oleh dua orang. Inilah pembagian kamar yang telah ditentukan berdasarkan undian. Agnes Agatha dan Aliona Putri, Crysta Larasati dan Thalia Kasih, Rayana Mega dan Sania Dewi, Christian Ferindo dan Nathanael Farkas, Kian Alputra dan Derren Donovan, Anggara Bion dan Miko Dwisastra. Area berlatih terdapat beberapa ruangan antara lain, ruang latihan vokal, ruang latihan koreografi, ruang tata rias dan busana, ruang latihan fisik, serta ruang latihan mandiri. Dan yang terakhir adalah area bersantai tempat para finalis beristirahat dan berkumpul bersama. Di samping ruang bersantai ini terdapat kolam renang yang disekitarnya terdapat kursi-kursi untuk bersantai.

Hari ini keempat juri berkumpul bersama dan berbincang. Setelah sibuk bersama-sama memilih siapa saja yang berhak masuk ke Star Show, mereka bisa bersantai sejenak. Mereka memutuskan mengobrol bersama di sebuah kafe.
“Banyak yang bagus juga ya para peserta audisi, sampai bingung juga saya harus milih 12 orang dari puluhan ribu,” kata Renata.
“Iya, Ren, bener. Bagus-bagus mereka. Tapi ya kita tetep harus milih kan untuk Star Show,” kata Tommy.
“Rayana cantik ya. Tapi kalau soal suara saya suka suaranya Crysta. Lembut gimana gitu, tapi ga lemah, tetep ada powernya,” kata Alvin.
“Agnes tuh baru suaranya powerful banget. Kalau yang cantik sih, saya suka yang kayak Aliona. Kalem gitu penampilannya,” kata Tommy.
“Biasa nih cowok pasti lihatnya yang cantik-cantik aja, ckck,” kata Renata.
“Wajarlah, Ren, namanya juga cowok, hehehe. Tapi kan tetep objektif kalau soal penjurian,” kata Tommy.
“Kalo yang cowok nih, saya suka Christian. Penampilannya simpel dan keren, eh suaranya cowok banget. Bikin hati meleleh dengernya. Setuju enggak, Vi?” tanya Renata.
“Ehh, iya, mbak Ren. Christian suaranya cowok banget, enak didenger, setuju,” jawab Violla gelagapan.
“Vi, kamu lagi ngelamunin apa sih? Daritadi diem aja, begitu saya tanya, eh jawabnya kayak orang bingung gitu.”
“Enggak ada apa-apa kok, mbak Ren. Lagi capek aja ini, jadwal padat, mana sekarang kan terikat kontrak sama IBP, jadi kegiatan di New York harus ditunda dulu,” ucap Violla sambil menghela nafas.
“Oh gitu. Kirain kamu jealous waktu denger Alvin bilang kalau Rayana cantik, hehehe,” goda Renata.
“Enggak lah, mbak Ren. Terserah Alvin juga kan mau bilang siapa aja cantik. Lagian Rayana emang cantik kok, mbak,” kata Violla.
“Lihat tuh Alvin, padahal dia udah ngarep kamu jealous lhoh Vi, hahahaha.” Kali ini Tommy ikut-ikutan menggoda Violla.
“Udah ah om Tommy sama mbak Renata ini isengnya kambuh lagi deh,” kata Alvin.
Akhirnya obrolan santai pun berlanjut selama dua jam. Kemudian masing-masing pun beranjak dari kafe tersebut, bersiap-siap untuk mulai melatih di karantina besok.


***

Posted by
fla rose

More

[Novel] Surat Untuk Sang Gitaris - Chapter 2

Dua – Surat Pertama

Malam harinya, Rey tampak sedang berbaring di tempat tidurnya. Capek juga hari pertama kuliah, pikir Rey. Sudah seminggu lebih Rey merasakan tinggal sendiri di kamar kosnya ini. Biasanya di rumah, sering terdengar suara ribut-ribut Robert dan Roger yang sedang main PS. Kali ini hanya ada dia sendiri. Sepi. Lamunan Rey  terhenti ketika handphonenya berbunyi.
From : Christina
Reeeeyyyy, udah tidur belom?
Duh, malas banget sih bales pesan enggak penting Christie, pikir Rey.
Reeeyy!!
Huh, seperti biasa, enggak sabaran.
From : Reynard
Belom. Kenapa lagi?
From : Christina
Gue bosan, Reeeeyy. Sepiii. Temenin gue dong :’(
Astaga, sampai kapan sih Christie bisa mandiri dan tidak mengganggunya lagi, pikir Rey.
From : Reynard
Gue capek banget, Tie. Gue tidur dulu ya. Mendingan lo juga tidur aja deh. Gue off-in hp ya.
Rey pun mematikan ponselnya. Kembali lagi pada lamunannya tadi. Ah, malam sudah semakin larut, sebaiknya ia cek saja dulu perlengkapan untuk mata kuliah besok. Rey membuka tasnya, mengeluarkan notesnya. Dia selalu menyelipkan kertas jadwalnya ke dalam notesnya itu. Tiba-tiba secarik kertas terjatuh dari dalam notesnya.
Apa ini? Perasaan gue cuma nyelipin kertas jadwal aja deh, pikir Rey heran. Dibukanya kertas itu. Sebuah tulisan. Tulisan siapa itu? Rey penasaran dan mulai membacanya.

Ketika malam semakin larut, kesunyian pun tiba
Entah kemana sang bising melangkah
Hanya ada deru angin dan rintik hujan
Bahkan bulan pun bersembunyi di balik awan
Tak berani mengusik heningnya malam
Kulangkahkan kaki ke rumput yang basah
Merasakan dinginnya tanah pada telapak kaki tak beralas
Hanya ini yang mampu kurasakan
Kebekuan ini semakin terasa
Entah api mana yang dapat melelehkannya

Rey terpaku sesaat membaca tulisan itu. Ia tak tahu apa makna sebenarnya dari tulisan itu. Sampai tiga kali dia membaca ulang tulisan itu. Rasanya seperti seseorang yang sendiri, kesepian. Sama seperti dirinya. Tak bosan dia baca lagi tulisan itu, sampai-sampai memori otaknya mulai menghafal tiap kata yang ada.
Kembali lagi rasa penasaran Rey muncul. Tulisan siapa sebenarnya itu. Jelas tidak mungkin tulisan dia. Teman satu kos? Pulang dari kampus tadi dia hanya makan malam dengan teman kosnya, tidak membawa tas maupun notesnya. Temannya di kelas tadi? Tapi siapa? Masa iya ada yang secara diam-diam menyelipkan kertas itu di notesnya selagi di kelas? Rasanya akan mudah diketahui oleh Rey jika hal itu terjadi.
Jangan-jangan Christie, kan waktu di kantin dia meninggalkan tasnya pada Christie saat hendak ke kamar kecil. Jadi ada kesempatan untuk Christie menyelipkan kertas itu ke notes Rey. Lagi pula Christie kan memang suka sama Rey, bisa saja dia nekat memasukan kertas ini. Tapi, masa iya seorang Christie bisa bikin tulisan kayak gini sih, bukan Christie banget deh. Atau mungkin kata-kata ini dibuatkan oleh teman Christie? Entahlah.
Rey teringat Riska dan Nila. Atau jangan-jangan mereka? Tadi Rey sempat meninggalkan tas nya di sebelah mereka berdua saat ia hendak memesan minuman. Bisa saja mereka berdua sudah melihat Rey sebelumnya dan sengaja minta duduk di sebelah Rey supaya bisa memasukan kertas itu. Ah, masa iya? Geer sekali rasanya. Tapi nampaknya Nila menyukai Rey, nyatanya Nila sering curi-curi pandang ke Rey. Rey sempat memergokinya, tapi dia cuek saja. Tak mau kege-eran dulu. Ya, bisa saja Riska dan Nila yang memasukan kertas ini.
Atau mungkin juga Mey. Kan tadi Rey sempat meninggalkan tasnya di taman. Dan setelah itu ia mendapati Mey duduk di samping tasnya. Tapi, apakah saat itu Mey tahu bahwa itu adalah tasnya? Ah, entahlah. Rey menjadi pusing sendiri dibuatnya.
Tiba-tiba kepalanya berdenyut. Ouch. Tak sengaja Rey menyentuh kepalanya yang tadi terbentur cewek dingin itu. Rey kembali terdiam, memikirkan cewek tadi. Lucu sekali tingkahnya. Tiba-tiba Rey mengerutkan keningnya. Atau jangan-jangan surat ini dari dia? Bisa saja dia sengaja menabrakan dirinya pada Rey, seperti di sinetron-sinetron, supaya bisa memasukan surat itu ke dalam notes Rey. Ah, lagi-lagi kenapa pikiran ge-er muncul lagi ya? Siapa dia sampai ada orang yang dia belum kenal rela diam-diam memasukan kertas ini ke tasnya, pikir Rey.
Jadi siapa penulis tulisan itu? Apa maknanya, dan kenapa kertas itu diberikan pada Rey? Rey jadi tambah bingung. Ah, sudahlah, sudah hampir tengah malam, sebaiknya ia beristirahat saja. Sebelum tidur, Rey menyimpan surat itu di sebuah kotak dan disimpannya di dalam laci dekat tempat tidurnya. Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus dari dalam kamar itu. Ya, Rey sudah terlelap.

***


Keesokan paginya Rey terbangun cukup pagi. Hal yang pertama yang terlintas dipikirannya adalah surat misterius itu. Ah, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Rey mengaktifkan ponselnya yang ia matikan semalam. Ada beberapa pesan masuk. Dari Christie dan Putra ternyata. Ia membuka pesan dari Putra.
From : Putra
Rey, besok kita sekelas di mata kuliah Pak Agus kan? Bareng yuk :D
Rey segera membalasnya.
To : Putra
Iya, Tra. Oke bareng. Sorry yah semalem hp gue matiin :D
Perasaannya sedikit senang. Sebelumnya ia takut di kota baru ini ia tak megenal siapa-siapa, sendirian. Ia takut tidak dapat bersosialisasi. Untunglah ia bertemu dengan Arya dan Putra. Mereka bertiga pun cepat akrab. Ini juga yang dijadikan alasan untuk sedikit menghindar dari Christie.

***


Pagi ini di kampus sudah ada Rey, Putra dan Arya duduk di depan ruang kelas. Setelah meletakan tas di dalam kelas,  mereka berbincang-bincang di luar kelas sambil menunggu datangnya dosen mereka. Arya dan Putra ingin mencari kos yang baru. Kos lama mereka terletak di dekat SMA mereka dulu, dan jaraknya lumayan jauh dari kampus Unijaya. Mereka berdua ingin mencari kos baru yang lebih dekat. Sepulang kelas, mereka berencana melihat-lihat kos Rey. Siapa tahu masih ada yang kosong dan cocok untuk mereka. Kan lumayan tuh kalau satu kos, pikir mereka.
Jam 10 tepat Pak Agus, sang dosen akhirnya datang juga. Rey, Putra dan Arya segera masuk ke dalam kelas. Kelas sudah penuh dengan mahasiswa lain. Fyuh, untung mereka sudah meletakan tas di bangku yang agak depan.
“Selamat pagi, saudara sekalian.” Pak Agus memulai percakapan. Biasalah, hari pertama masih perkenalan dulu. Tiba-tiba pintu ruang kelas terbuka.BRAKK.
Muncullah seorang cewek sambil tersengal-sengal.
“Selamat pagi, pak. Maaf saya terlambat,“ kata si cewek.
“Tak apa, saya juga baru mulai, silahkan duduk.”
“Terima kasih, pak.”
Si cewek pun mencari tempat duduk yang kosong. Bangku di sebelah Rey tampak kosong, ia pun menuju ke bangku itu. Rey sedari tadi sibuk berkutat dengan notesnya. Entah apa yang sedang ditulisnya. Tiba-tiba keasikannya terusik, tangannya tersenggol oleh seseorang.
Sorry, gue nggak sengaja,“ ujar suara milik orang yang menyenggolnya.
Rey menoleh dan terkejut mendapati bahwa suara itu milik cewek dingin yang kemarin bertabrakan dengan dirinya. Selama beberapa saat Rey tanpa sadar memandangi cewek itu. Ternyata dia anak IT 2012 juga toh, pikir Rey. Selama kelas dimulai Rey tidak dapat fokus ke mata kuliah yang diajarkan. Sesekali Rey melirik ke sebelahnya, tempat si cewek itu berada. Arya dan Putra yang duduk di belakang Rey melihat kejadian itu dan hanya terseyum tertahan.
Dua jam pun telah berlalu. Akhirnya selesai juga mata kuliah ini. Rey berniat untuk meminta maaf pada cewek dingin itu karena telah menabraknya kemarin. Tapi belum sempat dia memanggil cewek itu, si cewek terlanjur berlari ke luar kelas. Rey hanya bisa menghela nafas saja.
“Rey, lo naksir dia ya?“ Arya mulai menggoda Rey.
“Ah, enggak kok. Siapa bilang.“ Rey kaget, Arya seolah-olah bisa membaca pikirannya.
“Tuh selama di kelas lo merhatiin dia terus,“ sambung Putra.
“Hmmm, sebenernya kemaren gue enggak sengaja nabrak dia. Ternyata dia anak IT 2012 juga, baru tau gue. Niatnya mau minta maaf, tapi kayaknya dia selalu terburu-buru gitu ya, “ kata Rey.
“Maksudnya Savi ya, Rey?“ tiba-tiba cewek di depan Rey menoleh dan ikut bergabung dalam obrolan mereka.
“Eh, iya. Lhoh, kok lo tau nama gue?“ tanya Rey.
“Kan kita sekelas kemarin di kelas siang. Lo enggak inget gue ya?“ tanya si cewek.
“Emm.. sorry ya gue enggak tahu.”
“Gue Nerissa, panggil Risa aja,“ kata si cewek sambil tersenyum.
“Gue Arya.”
“Gue Putra.”
“Btw, tadi siapa ya nama cewek yang duduk di sebelah gue itu?” tanya Rey.
“Namanya Savira. Gue sekelas sama dia kemarin di kelas pagi dan kebetulan duduk sebelahan sama dia, jadi sempat ngobrol sedikit,“ jelas Rissa.
“Hmmm, Savira ya. Thanks,Rissa.”
“Rey, kemarin siang pulang kelas lo buru-buru banget sih, padahal gue mau ngajak lo kenalan kemarin.”
Sorry, Ris, gue enggak tahu. Sorry ya, hehehe.”
“Enggak apa-apa kok, Rey. Habis lo lucu sih, kayaknya anaknya diem gitu, jadi bikin penasaran, hehehe.”
“Iya nih si Rey kalau di depan yang lain awalnya emang suka malu-malu, hahahaha, “ kata Putra.
“Oh ya? Berarti kalau udah kenal udah enggak malu-malu lagi dong ya?“ sambung Rissa.
“Ah, enggak kok, gue biasa aja tuh, enggak malu-malu, apalagi malu-maluin.“ Rey membela diri.
“Btw, Rey, gue boleh minta kontak kamu enggak?“ tanya Rissa.
“Boleh, Ris. Ini nomer gue.“ Akhirnya Rissa dan Rey pun bertukar nomor handphone.
Thanks ya, Rey.“
“Ris, gue, Putra dan Arya cabut dulu ya,“ pamit Rey.
“Oh, mau kemana kalian?“ tanya Rissa.
“Gue sama Putra mau cari kos deket kampus nih,“ jawab Arya.
“Oke deh, thanks ya. Kalian bertiga udah mau kenalan sama gue. Semoga cepet dapet kos nya.“
“Daaahh.“ Rey, Arya dan Putra pun segera melangkah menuju kos Rey.

***


Rey, Arya dan Putra pun tiba di kos Rey. Kos Rey ada 20 kamar dan memang kos ini khusus cowok. Rey sengaja memilih kos khusus cowok saja. Dia malas kalau Christie sampai mengusik ketenangannya jika sampai harus satu kos. Selain itu kos Rey ini terdapat taman dan di taman itulah para penghuni lainnya sering berkumpul di sawung yang berada di taman itu.
“Wah, Rey, kos lo bagus juga ya, apalagi tamannya, keren banget, Rey,“ kata Putra kagum.
“Bener, Rey, gue jadi inget kampung halaman, soalnya di rumah juga ada taman kayak gininya, hehehe,“ kata Arya.
“Bagus lah kalian suka, mau liat dulu ke kamar gue?“ tanya Rey.
“Mau dong,“ jawab Arya dan Putra kompak.
Mereka bertiga pun menuju kamar Rey. Kos Rey ini terdiri dari dua lantai. Kamar Rey berada di lantai dua, ujung kiri pula. Memang terkesan jauh, tapi Rey suka kamarnya. Merasa tenang karena lumayan jauh dari keributan yang biasanya berasal dari meja tempat berkumpul yang terletak di area tengah. Lagi pula Rey bisa leluasa menikmati pemandangan taman yang terletak di sebelah kiri bangunan kos ini. Arya dan Putra pun melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar Rey.
“Wah, Rey, enak juga nih kamar lo, bisa lihat ke taman tadi juga, wow,“ kata Arya.
“Buat ukuran cowok, lo termasuk rapi juga ya, hehehe,“ kata Putra seraya menyapukan pandangannya ke tiap sudut kamar Rey.
“Ah, biasa aja kok. Syukur deh kalo kalian suka kos ini. Yuk turun lagi, kita tanya sama bapak kos langsung aja ada kamar kosong apa enggak,“ ajak Rey.
Mereka bertiga pun menemui bapak kos dan menanyakan perihal kamar kosong yang diinginkan Arya dan Putra.
“Sekarang sih ada 3 kamar kosong, 2 di lantai bawah dan 1 di lantai atas, area kiri juga kok jadi ga jauh dari kamar Rey,“ jelas Bapak kos.
“Wah, Pak. Kalo bisa kita pengen 2 kamar kosong di atas, Pak. Biar deket aja, hehehe, “ kata Putra.
“Ada 1 orang lagi sih di kamar lantai dua yang mau keluar, dia baru saja lulus, tapi masih sewa kamar sampai bulan ini,barang-barangnya pun baru sebagian dia bawa pulang. Bulan depan baru kosong, gimana?“ tanya Bapak kos.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya sewa kamar di lantai dua yang kosong itu dan kalau yang satu lagi sudah pindah, bulan depan saya tempati juga kamar itu,“ kata Arya.
“Kebetulan nantinya dua kamar itu sebelahan, hehehe.”
“Wah bagus itu, kamar kita akan sebelahan,“ kata Putra.
“Tapi untuk kamar yang sudah kosong, kapanpun kalian akan tempatin, Bapak minta kalian bayar juga uang sewa bulan ini, karena yang minat di kos ini lumayan banyak, bapak cuma ingin kepastian aja, hehehe. Sedangkan untuk kamar di sebelahnya mungkin bisa bayar DP dulu setengah dari uang bulanan. Sekali lagi, untuk memastikan kalian benar-benar akan pindah kesini, hehehe,“ kata Bapak kos.
“Saya tau kok, Pak. Nanti saya transfer saja nggak apa-apa, Pak?“ tanya Arya.
“Nggak apa-apa, nanti saya beri nomor rekening saya. Terima masih ya, catat sekalian data kalian disini,“ kata Bapak kos sambil menyerahkan sebuah buku.
“Arya, lo yakin mau bayar duluan? Atau lo mau pindah kos bulan ini juga?“ tanya Putra ragu.
“Gue nanti pindahnya kesini bulan depan aja, bareng sama lo sekalian, Tra. Gue bayar dulu nggak apa-apa kok, kan demi kebersamaan kita bertiga, hehehe,“ jawab Arya.
“Lo ga sayang uangnya, Ar?“ tanya Rey.
“Nggak masalah lah, udah lo tenang aja, Tra. Kayak yang baru kenal gue aja sih lo,“ jawab Arya.
“Iya deh, dasar orang kaya Yogya,“ canda Putra.
“Apaan sih lo, Tra,“ kata Arya sambil menjitak Putra. Rey yang melihat kedua temannya hanya bisa tertawa saja.
“Kalo gitu harus kita rayain nih kepindahan kita, nanti makan malam di resto yuk, Arya yang bayarin, hahahaha,“ kata Putra.
“Kok gue sih?“ Arya menjitak Putra untuk yang kedua kalinya. “Tapi nggak apa-apa deh, sekali-kali gue traktir kalian berdua, hahahaha.”
“Thanks ya, Ar, Tra. Gue kira gue bakal habisin masa kuliah gue sendirian. Nggak nyangka bisa ketemu orang-orang kayak kalian yang kocak, hahahahaha,“ kata Rey.
“Santai Rey, gue juga seneng kok kenal sama lo, bosen gue kalo harus berduaan terus sama Putra, ntar dikira orang-orang Putra itu mahoan gue lagi, hahahaha,“ Gantian Arya yang dijitak oleh Putra.
“Enak aja lo, kalaupun gue maho, gue juga bakal cari cowok yang kerenan dikit, nggak kayak lo, Ar,“ balas Putra. “Ya kan, Rey?“ Putra berkata dengan sura genitnya seraya mendekat ke Rey.
“Apaan sih lo, Traaaa.“ Rey kaget dan bergidik ngeri melihat tingkah Putra dan diikuti tawa oleh dua sahabatnya.
“Hahahaha, Rey lo lucu banget sih, hahaha.“
Rey pun ikut tertawa, tertawa lepas bersama dua sahabat barunya.

***

Posted by
fla rose

More

[Novel] Surat Untuk Sang Gitaris - Chapter 1

Satu – Sebuah Permulaan

Pagi ini suasana di Universitas Indonesia Jaya ramai dengan mahasiswa-mahasiswa baru. Ya, ini adalah awal ajaran baru. Setelah satu minggu masa orientasi, akhirnya mereka resmi menjadi mahasiswa UNIJAYA. Tampak Rey berjalan tergesa-gesa. Waktu sudah menunjukan pukul 7.50, 10 menit lagi kelas pertamanya akan dimulai. Rey berjalan seraya membuka notesnya--memastikan ruang mana yang menjadi kelasnya.
Tepat di sebuah belokan, Rey tidak sengaja menabrak seseorang. Brukk. Notesnya terlempar, begitu juga beberapa lembar kertas milik orang yang ditabraknya. Tiba-tiba terdengar suara orang itu mengaduh kesakitan.
“Aduh, kepala gue!” teriak suara itu. Ternyata suara seorang cewek. Rey refleks mendongakkan kepalanya untuk melihat asal suara itu.
“Kepala lo nggak apa-apa?” tanya Rey sambil mengelus kepalanya sendiri yang tanpa sengaja berbenturan dengan kepala cewek itu.
“Masih sakit nih,“ jawab si cewek sambil membereskan kertas-kertasnya yang tadi tersebar. Rey sendiri malah asik memperhatikan si cewek. Wajahnya yang menahan sakit ditambah raut panik sambil mengumpulkan kertas-kertasnya membuat Rey tertawa kecil.
“Kenapa malah tertawa? Gegar otak ya gara-gara kebentur?“ kata si cewek dingin.
“Emm..” Rey bingung mau menjawab apa. Belum sempat dia berkata-kata, si cewek sudah menyerahkan notesnya dan melenggang pergi.
“ Tuh buku lo,” kata si cewek seraya menjauh.
“Tungguuuu! Lo beneran nggak kenapa-kenapa?“ tanya Rey setengah berteriak. Namun tidak ada jawaban dari si cewek itu. Rey pun hanya bengong melihat kepergian si cewek itu. Betapa dinginnya dia. Bahkan Rey belum sempat mengucapkan kata maaf padanya.
Rey tiba-tiba tersadar. Astaga, sudah jam 8 tepat! Masa dia harus terlambat di hari pertama dan kelas pertamanya? Rey pun setengah berlari menuju ruang kelasnya.

***


Rey sampai di depan sebuah ruang kelas yang dia yakini adalah kelasnya. Tapi kenapa tampak sepi ya, dan pintu ruang kelas juga tertutup. Apa jangan-jangan kelas sudah dimulai? Rey bingung. Dia mencoba membuka pintu ruang kelas, tapi nihil. Ternyata pintu itu terkunci. Wah, apa jangan-jangan si dosen punya kebiasaan mengunci pintu agar yang terlambat tidak bisa masuk ya? Rey bingung. Tiba-tiba ada sebuah suara, yang sepertinya si pemilik suara itu bicara pada Rey.
“Hei, lo anak IT 2012 ya, yang mau mata kuliah pak Erwin? Kelas ditiadakan, pak Erwin sedang ada perlu di luar kota,” kata si pemilik suara.
Rey menoleh. Ternyata ada dua orang cowok, berkulit kecoklatan. Yang satu mengenakan kaos biasa dan yang satunya lagi mengenakan baju batik. Wow, di jaman seperti ini, di kota besar seperti ini, ternyata ada juga ya yang masih mau pakai batik untuk pakaian sehari-hari, pikir Rey. Rey sendiri merasa enggan memakai baju batik jika tidak untuk acara tertentu.
“Eh, iya, gue anak IT 2012. Kalian juga?” tanya Rey.
“Iya, kita juga. Kenalin, gue Putra, ini Arya, ” kata cowok yang pake kaos. Oh, ternyata yang pakai batik itu namanya Arya.
“Gue Reynard, panggil Rey aja.” Mereka bertiga pun saling bersalaman.
“Rey, lo mau kemana? Ada kelas lagi?“ tanya Arya.
“Masih nanti sih, jam 1 siang. Bingung mau nunggu dimana,” jawab Rey.
“Ikut kita aja ke kantin, kita berdua nanti ada kelas jam 11,” ajak Putra. Akhirnya, Rey, Arya dan Putra pun berjalan bersama menuju ke kantin .
Saat itu kantin belum terlalu ramai, mungkin karena masih pagi, belum ada jam 9. Mereka bertiga pun mengobrol tentang masa SMA mereka, bagaimana mereka masuk ke universitas ini dan masih banyak lagi obrolan ringan lainnya.
Rey berasal dari kota Jakarta. Dia memutuskan berkuliah di kota Bandung karena merasa sudah bosan dengan kepadatan kota Jakarta. Dia ingin merasakan hidup mandiri di kota lain. Rey mempunyai dua orang adik, Robert dan Roger, yang masih duduk di bangku SMA. Sedangkan Arya dan Putra berasal dari Yogyakarta. Mereka berdua adalah teman sejak SD. Namun pada saat SMA mereka berdua sama-sama masuk ke SMA di kota Bandung dan kemudian sama-sama melanjutkan studi di Unijaya.
Tak terasa sudah hampir dua jam mereka mengobrol. Arya dan Putra pun pamit karena mereka ada kelas pukul 11. Tinggallah Rey sendirian di kantin. Tidak benar-benar sendirian, karena ternyata kantin sudah menjadi semakin ramai. Tiba-tiba ada dua orang cewek mendekat ke meja Rey.
Sorry, boleh gabung disini nggak? Meja lain sudah penuh semua,” tanya cewek yang berambut ikal panjang. Di sebelahnya ada cewek lain, berambut pendek sebahu, dan menatap Rey penuh harap.
“Silahkan aja, kebetulan kursi-kursi ini kosong kok,” jawab Rey.
“Lo jurusan apa, angkatan berapa?” tanya si cewek rambut sebahu --seraya duduk di kursi yang masih kosong. Kebetulan meja yang ditempati Rey ada empat kursi dan saat itu sedang kosong tiga kursi.
“IT 2012. Kalian?”
“Industri 2011,” jawab si cewek rambut sebahu itu lagi. Kemudian dua cewek itu sibuk berbisik-bisik dan tertawa kecil. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Rey sempat sedikit menangkap  beberapa kata dalam obrolan mereka.
‘Wah, brondong tuh, La,’ kata cewek rambut sebahu, yang kemudian diikuti suara tawa malu-malu dari cewek rambut ikal panjang sambil sesekali melirik kearah Rey.
Tiba-tiba handphone Rey bergetar. Pesan dari Christie.
From : Christina
Rey, lo di kampus? Dimananya?
Reeeyyyy.
Bales dong, Rey, buruaaaann.
Ga sabaran banget sih nih cewek, pikir Rey.
From : Reynard
Di kantin teknik nih.
From : Christina
Gue susul kesana ya.
Tunggu gue!

Rey menghela nafas panjang. Christina atau biasa dipanggil Christie adalah teman satu SMA-nya. Saat mereka kelas 3 SMA mereka menjadi semakin dekat. Rey tahu Christie menyukainya. Tapi dia belum bisa membalas perasaan Christie. Dia belum yakin dengan perasaannya sendiri. Rasanya ia masih ingin sendiri, belum ingin mengubah status single-nya. Christie dan Rey akhirnya sama-sama ke Bandung dan masuk di universitas yang sama, hanya saja Christie mengambil jurusan Akuntansi. Rasanya Christie semakin menempel saja pada Rey. Kadang, Rey merasa capek meladeni Christie, tapi dia tidak tega menolak ajakan-ajakan Christie.
Rey memutuskan memesan segelas es jeruk lagi. Dia tinggalkan tasnya di meja begitu saja dan berjalan kearah tempat pemesanan minum. Jaraknya tidak jauh ini dari meja dia, biar deh tas nya ditinggal saja, daripada nanti kursinya terlanjur ditempati oleh orang lain, pikir Rey.
Beberapa menit kemudian, Rey kembali ke kursinya. Dua cewek di sebelahnya masih saja berbicara pelan sambil tertawa-tawa. Sesekali si cewek rambut panjang meliriknya takut-takut. Pikiran ge-er Rey berkata, jangan-jangan mereka berdua sedang membicarakan dirinya. Ah tidak mungkin, langsung ditepisnya pikiran ge-ernya itu.
“Btw, nama lo siapa?“ tanya si cewek rambut sebahu.
“Reynard,“ jawab Rey singkat sambil tersenyum.
“Gue Riska dan dia Nila,“ kata si cewek rambut sebahu yang ternyata bernama Riska. Nila hanya tersenyum malu-malu. Rey balas tersenyum pada Riska dan Nila. Kemudian Riska dan Nila --entah apa maksudnya-- malah saling sikut menyikut. Rey heran dengan tingkah mereka berdua. Akhirnya Riska lagi yang memulai obrolan. Menanyakan hal-hal ringan seperti tinggal dimana, bagaimana ospek kemarin dan masih banyak lagi. Rey menjawabnya tanpa berniat bertanya balik kepada Riska dan Nila.
Tak lama kemudian muncullah Christie.
“Reeeeyy, gue cariin daritadiii. Duh, ini kantin penuh banget sih, gue sampe susah nemuin lo disini,“ kata Christie seraya duduk di kursi di hadapan Rey. Riska dan Nila terdiam memperhatikan kedatangan Christie.
“Eh, Rey, siapa mereka berdua?“ tanya Christie tanpa menoleh kearah Riska dan Nila. Riska dan Nila jadi sedikit kesal melihat kedatangan Christie.
“Oh, anak Industri 2011, kebetulan aja enggak dapat kursi dan kursi di sebelah gue ini kan kosong,“ jawab Rey malas-malasan.
“Oh, kirain siapa,“ kata Christie tanpa memperdulikan kehadiran Riska dan Nila. Riska sedikit terpancing emosinya, setelah belum puas bertanya-tanya mengenai diri Rey, malah datang junior yang tidak memperdulikannya. Mengganggu saja, pikir Riska.
“Sopan dikit dong sama senior!“ kata Riska dengan nada suara sedikit meninggi.
“Sudah, Ris, enggak usah dipeduliin, bahas yang lain aja yuk,“ kata Nila menenangkan. Padahal dalam hatinya, dia sedikit kecewa belum sempat mendapatkan nomor telepon Rey. Christie hanya cuek saja dan terus berbicara pada Rey dengan nada suara yang manja. Rey merasa gerah dengan situasi ini.
“Christie, gue mau ke kamar kecil dulu, titip tas ya.“ Rey pun berjalan menuju kamar mandi di sudut kantin.
Ketika Rey kembali dari kamar mandi, tampak Christie sedang menikmati makanan pesanannya yang sudah datang. Dan sosok Riska dan Nila sudah tidak ada disana.
“Kemana mereka berdua?“ tanya Rey dan dijawab Christie hanya dengan mengangkat bahunya, tanda dia tidak tahu menahu.

***

            Akhirnya Rey keluar dari ruang kelasnya. Kelas pertamanya hari itu cukup menyenangkan sehingga selama tiga jam di kelas pun tidak terasa. Rey melirik jam tangannya. Jarum jam menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul lima sore. Rey mendongakkan kepalanya, ia dapat melihat langit diatasnya yang berwarna jingga dan sebagian ditutup awan gelap. Rey masih malas pulang. Ia memutuskan berjalan-jalan sebentar melihat kampus barunya.
            Kaki Rey pun berhenti di sebuah taman dengan phon besar di tengahnya dan beberapa bangku di sekeliling pohon tersebut. Taman itu tampak sejuk dengan banyak bunga dan pohon kecil di beberapa sudut dan sebagian taman tertutup oleh bayangan dari sebuah gedung. Rey melihat kearah gedung tersebut. Gedung empat lantai dan berwarna kuning pucat. Tidak salah lagi ini adalah gedung Hukum, dan itu berarti taman ini adalah taman Hukum.
            Rey memutuskan melangkah dan duduk di salah satu bangku yang ada. Suasana saat itu cukup sepi. Mungkin karena sudah sore hari dan banyak anak yang sudah pulang. Rey meletakkan tasnya di sampingnya. Ia mulai mereggangkan badannya sejenak. Suasana di taman itu cukup membuatnya nyaman, ia rasa, ia akan betah berlama-lama di tempat ini.
Rey merasa tenggorokannya kering. Ia baru ingat, terakhir kali ia minum adalah siang tadi. Pantas saja rasanya tidak enak. Rey melihat ke sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada tiga orang yang berada di ujung lorong menuju gedung Hukum. Tiga orang itu sedang membereskan barang-barang yang ada di sebuah meja. Ada snack, coklat, roti... dan ada air mineral! Lalu datang seseorang yang mengambil sebuah roti dan memberikan uang kepada salah satu dari tiga orang itu. Tak salah lagi mereka pasti sedang berjualan. Dan sepertinya mereka sedang membereskan dagangannya. Rey pun langsung berlari ke arah tiga orang tersebut sebelum mereka benar-benar memasukkan semua dagangannya dan pergi.
“Maaf. Hosh.. Hosh.. Bisa gue beli air minumnya? Hosh.. Hosh.. Hosh..,” kata Rey sambil terengah-engah karena berlari. Spontan, tiga orang tadi menghentikan aktifitasnya dan menoleh pada Rey.
“Emm, maaf gue ngagetin kalian ya?” Dipandangi oleh tiga orang itu, Rey salah tingkah.
“Oh, sorry. Nggak kok. Lo mau beli ini? Tiga ribu aja,” ucap salah seorang dari tiga orang itu --cowok berambut agak panjang sebahu dan bergelombang— seraya menyodorkan sebotol air mineral pada Rey.
Rey menyodorkan tiga lembar uang seribuan dari saku jaketnya dan mengambil botol yang disodorkan oleh cowok tadi. “Thanks ya.”
“You’r welcome.”
Rey segera membuka segel dari tutup botol tersebut dan segera meminumnya hingga tersisa dua per tiganya saja. Seketika Rey mendengar suara seseorang tertawa pelan. Ia segera menoleh dan mendapati salah seorang dari tiga orang itu –kali ini cewek dengan rambut dikuncir ekor kuda yang mengenakan tanktop dan kemeja yang dibiarkan terbuka- sedang memandang dirinya sambil tertawa pelan.
“Ada yang aneh dari gue?” tanya Rey kebingungan.
“Eh, nggak kok, lo lucu aja, kayak orang belom pernah ketemu sama air minum! Ahahaha.” Cewek itu tertawa lagi. Rey tersenyum malu karena baru menyadari dirinya yang terlalu bersemangat untuk membasahi temggorokannya. Setelah pamit pada tiga orang tadi dan mengucapkan terima kasihnya sekali lagi, Rey berbalik dan berniat untuk pulang.
Rey baru sadar bahwa ia meninggalkan tasnya begitu saja di taman. Astaga! Bagaimana ia bisa seceroboh itu sih. Rey segera berlari kembali ke tempat dimana ia meninggalkan tasnya. Baru saja kakinya melangkah ke rerumputan, ia mendengar sebuah suara nyanyian. Suara yang merdu dan bernada tinggi. Rey memperlambat langkahnya untuk melihat suara siapa itu. Rey melihat seorang cewek berambut pirang sepunggung sedang menyanyikan sebuah lagu yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Tiba-tiba cewek itu berhenti menyanyi dan menoleh padanya.
“Rey!” teriak cewek itu dengan wajah terkejut.
“Lo...” Rey memandangi wajah cewek itu sambil mengingat-ingat.
“Rey, kok lo tega sih, masa baru seminggu juga lo udah lupa sama gue,” kat cewek itu sambil merajuk. “Gue Mey..”
“Oh iya, lo Meli kan,” potng Rey bersemangat, seperti baru saja berhasil menyelesaikan teka-teki sulit.
“Lebih tepatnya Mey-Li-Sa. Jangan seenaknya sebut nama gue salah-salahan dong,” Mey cemberut. Namanya Meylisa, dan orang sering asal saja menyebutnya Melisa dengan menghilangkan huruf Y yang ada.
“Sorry, sorry, Meylisa. Gue inget kok  lo itu temen satu regu gue kan. Rambut lo kenapa jadi pirang gini sih?”
“Panggil gue Mey aja ya, Rey. Iya, habis ospek gue langsung semir rambut gue. Bagus nggak, Rey,” kata Mey sambil tersenyum cerah.
“Cocok kok sama lo, cuma gue jadi ga ngenalin lo aja tadi, hehehe. Lo ngapain disini?”
“Gue lagi nunggu temen gue nih dan gue nemu tas ini tadi.” Rey melihat ke sebuah tas berwarna hitam yang ada di samping Mey.
“Oh iyaaa, itu kan tas gue. Tadi gue buru-buru sampai lupa sama tas gue. Thanks ya udah dijagain.”
“Dasar lo ceroboh banget jadi orang!” Mey tertawa. Rey pun ikut tertawa. Selain tasnya, Rey melihat sebuah gitar disana.
“Lo bisa main gitar, Mey?”
“Nggak kok. Ini gitar temen gue, tadi dia nitip ke gue.”
“Oh gitu. Boleh gue pinjem nggak gitarnya?”
“Boleh. Lo bisa main gitar?” Rey tak menjawab. Dia langsung memetik gitar tersebut dan mengalunlah sebuah lagu, Close To You –lagu favoritnya. Mey memperhatikan permainan gitar Rey. Di wajahnya tampak bahwa ia kagum dengan apa yang dimainkan Rey. Baru satu bait dan satu reff, Rey sudah berhenti.
“Kok berhenti, Rey?” Dari nada bicaranya, tampak bahwa Mey belum puas mendengar permainan Rey tadi
“Nggak apa-apa sih. Lo sambil nyanyi dong, Mey. Gue tadi denger lho, suara lo bagus banget, lembut didenger.”
“Ah, lo bisa aja Rey. Bisa aja tau suara gue.” Pipi Mey bersemu merah. Ia merasa sosok Rey tampak sangat keren dan romantis saat sedang bermain gitar seperti ini. Beda sekali auranya saat ia sedang fokus memainkan jarinya pada senar-senar gitar. Rey tak bersuara lagi. Yang ada hanyalah intro dari lagu Close To You, dan Mey pun bersiap untuk bernyanyi. Sungguh pertunjukan yang menarik dan indah saat senja di sebuah taman yang cukup sepi.
Satu lagu pun selesai mereka bawakan. Bertepatan dengan akhir dari ending lagu yang Rey mainkan, terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras. Sontak keduanya menoleh ke asal suara. “Wow, konser kalian bagus juga.”
“Kak Devon!” Pipi Mey memerah lagi.
“Eh, lo...” Ternyata orang itu adalah cowok berambut bergelombang sebahu yang tadi menjual air minum pada Rey.
“Hai. Ketemu lagi kita. Gue Devon. Lo temennya Meli?” Devon mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Rey.
“Gue Rey. Gue temen satu regu ospeknya Mey.”
“Oh kalian seangkatan ya? Gue udah angkatan 2010. Tapi panggil gue Devon aja ya, gue nggak suka dipanggil pake sebutan ‘kak’,” kata Devon sambil memberi penekanan pada kata ‘kak’ dan melirik ke arah Mey.
“Kak Devon apaan sih gitu amat.” Mey cemberut.
“Huahaha, lucu banget sih lo, Mel. Iya-iya, lo boleh manggil gue apapun yang lo mau kok.” Devon mengacak rambut Mey. Dan lagi-lai pipi Mey merona merah.
“Keren juga permainan gitar lo. Mau nggak kapan-kapan kita ngejam bareng?”
“Wah, boleh tuh, Von. Ajak-ajak gue ya jangan lupa.” Rey senang sekali. Ia senang jika bisa kembali bermain musik dan kali ini bersama teman-teman yang baru ia kenal.
Hari sudah mulai gelap. Rey pun berpamitan pada Mey dan Devon. Ia ingin segera membeli makanan dan pulang ke kosnya. Rasanya hari ini adalah hari yang panjang untuk Rey. Banyak pengalaman dan banyak teman yang ia dapatkan hari ini.

***

Posted by
fla rose

More

Copyright © 2012 Imagination and LifeTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.