Shuan Hern Lee (baru 7 tahun lhoh!) Main Lagu Flight of The Bumble Bee di Australian Got Talent 2010
[Cerpen] Sebuah Buku Demi Senyuman Kakak
Hari ini, di sekolah ada perlombaan antar-kelas. Aku senang sekali. Selain tidak ada pelajaran, bu guru juga membiarkan kami main sepuasnya. Memang sih di sekolahku tiap hari bermain, tidak seperti kakakku yang sibuk berkutat dengan bukunya. Entah apa yang sibuk ia tuliskan. Kenapa kakak suka sekali menulis? Aku bahkan butuh waktu yang sangat lama ketika mencoba membaca sebuah tulisan kakak, yang terkadang dipenuhi banyak angka atau pun bahasa yang tidak ku mengerti. Tulisan tangan kakak bagus. Aku ingin cepat-cepat bisa menulis seperti kakak.
Bermain di sekolah, aku jadi ingat kakak. Dia sedang apa ya? Apakah di sekolahnya juga ada permainan seperti di sekolahku? Aku ingin cepat-cepat besar dan sekolah di tempat kakak bersekolah sekarang.
Sedang asik melamun, bu guru memanggilku. Permainan akan segera dimulai. Aku menjadi perwakilan dari kelas ku untuk lomba lari. Sebenarnya aku ingin ikut lomba yang lain. Tapi aku bilang pada bu guru, aku mau lomba lari saja ah. Bu guru bertanya, kenapa tidak ikut lomba menyanyi saja, seperti yang sering kulakukan. Aku pun menjawab, "Bu, aku ingin menang di lomba lari itu. Kalau aku menang, aku bisa dapat hadiah pertama, buku tulis yang bagus sekali gambarnya. Berwarna merah pula, warna kesukaan kakak. Aku ingin menghadiahkannya pada kakakku, karena aku tau, dia sangat suka menulis, dan dia pasti akan suka dengan buku itu." Bu guru pun tersenyum. Dia mengijinkan aku ikut lomba lari.
Pertandingan dimulai. Aku sudah berlatih setiap pagi. Aku benar-benar ingin menang! Sudah terbayang wajah kakak yang tersenyum senang, jika aku memberinya buku itu.
Lari! Ayo terus! Duh, anak kelas sebelah itu benar-benar cepat. Tapi aku tak boleh kalah. Aku mau melihat kakak tersenyum. Aku mau menghibur kakak. Sejak kakak sibuk dengan sekolahnya, aku jarang melihat kakak tersenyum lagi. Aku kangen senyuman kakak. Aku harus menang!
Akhirnya aku bisa melewati dia. Sepertinya dia mulai kelelahan. Aku memang tidak secepat dia. Tapi setidaknya, disaat sekarang dia mulai lelah, aku masih kuat berlari. Aku melihat pita merah di ujung sana. Sebentar lagi aku bisa mencapainya, aku bisa mendapat buku itu dan aku bisa melihat kakak tersenyum.
Tib- tiba aku merasa sakit. Aku ingin menangis. Aku terjatuh sebelum mencapai pita itu. Aku menengok ke belakang. Dia sudah semakin mendekat. Beberapa langkah lagi aku pasti terbalap. Aku harus bangkit. Aku harus berlari lagi. Kudengar samar-samar suara teman-teman sekelasku dan juga bu guru memanggil namaku. Aku harus bisa! Semua demi senyuman kakak.
Aku berdiri dan mulai berlari. Hampir saja aku terjatuh lagi. Untungnya aku berhasil mencapai pita itu. Mendadak suasana menjadi sangaaaatt ramai. Semua orang bertepuk tangan. Teman-teman dan bu guru mendatangiku. Mereka semua tersenyum padaku. Aku senang sekali melihat senyuman mereka. Tapi aku masih belum puas. Aku mau melihat senyuman kakak.
Perlombaan hari ini berakhir sudah. Aku cepat-cepat berlari pulang. Di rumah aku melihat ibu yang sedang sibuk dengan pekerjannya. Aku tak tau apa. Sama seperti kakak, ibu duduk di depan meja, tapi dia mengetik. Bukan menulis. Kata ibu, mengetik itu sama dengan menulis. Aku tak tau apa maksudnya. Mungkin suatu saat jika aku telah menjadi seorang ibu, aku akan tau, apa sih mengetik itu.
"Bu, kakak mana?"
"Kakak belum pulang, dik."
Aku langsung berlari ke kamar kakak. Aku duduk di tempat tidurnya sambil memegang buku hadiah kemenanganku tadi. Kenapa kakak lama sekali ya? Aku mendengar ibu berteriak menyuruhku berganti pakaian dan membersihkan diriku. Aku tidak mau. Aku tidak mau beranjak dari kamar kakak. Aku mau menunggu kakak. Sesekali aku melihat ke arah jam merah besar di kamar kakak. Waktu terasa begitu lama.
Tak sadar, aku pun tertidur. Entah pukul berapa aku terbangun. Aku melihat kakakku sudah di kamar. Sebelum aku sempat bicara apa-apa, kakak sudah bicara terlebih dahulu, dengan suaranya yang keras dan meninggi di akhir perkataannya.
"Apa yang kau lakukan di tempat tidurku? Pakaian dan badanmu yang kotor mengotori tempat tidurku! Kenapa kau tidak membersihkan diri dan berada di kamarmu sendiri, hah?"
Kakak marah. Aku pun menangis. Aku sangat mengharapkan dapat melihat senyuman kakak. Tapi kenapa kakak marah padaku? Aku takut, takut sekali. Aku tidak sanggup menahan air mataku. Aku tak ingin menangis, apalagi di depan kakakku. Aku harus kuat. Tapi kenapa aku tetap menangis? Dasar air mata nakal. Mengapa tidak menurut saja untuk tidak keluar dari mataku?
Hanya sepatah kata yang keluar dari mulutku, di sela-sela tangisku. "Maaf kak,,, maafkan aku."
Kakak terdiam melihatku menangis. Tapi aku tau, kakak masih marah padaku. Aku harus kuat. Aku harus bisa. Aku mencoba menahan tangisku. Namun hasilnya, aku malah menangis semakin keras. Aku tak menyangka. Aku mengharapkan senyuman kakak, sesuatu yang sangat aku inginkan, tapi berujung seperti ini. Aku kecewa sekali. Bukan pada kakak, tapi pada diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh, mengotori kamar kakak, dan membuat kakak marah. Aku berlari ke kamarku.
Buku ku tertinggal. Buku hadiah kemenanganku yang akan kuberikan pada kakak. Aku ingin mengambilnya, tapi aku takut pada kakak. Aku takut ia semakin marah. Tapi aku juga takut, jangan - jangan, jika kakak melihat buku itu, kakak bertambah marah padaku. Aku berlari ke sudut kamarku. Berada di balik selimut tebal. Berusaha bersembunyi.
Aku teringat kembali. Buku itu tebal. Lebih tebal dari buku tulis yang biasa bu guru berikan padaku. Buku itu juga bergaris besar - besar. Tidak seperti milikku yang garisnya besar kecil atau kotak - kotak. Buku itu berwarna merah cerah, seperti warna kesukaan kakak. Ada secarik kertas yang tertempel di buku itu. Tadinya aku hendak membuangnya. Mengganggu sampul buku yang bagus itu. Tapi ada tulisannya, aku mencoba membacanya. HADIAH PERTAMA LOMBA LARI. Karena tulisan itu, aku tidak jadi membuangnya. Kubiarkan tetap melekat di sampul buku itu. Aku menambahkan dua kata di bawahnya. UNTUK KAKAK. Berulang kali aku mencoba menulis dua kata itu, tapi kenapa tulisanku tidak bisa sebagus tulisan kakak. Aku pasrah, berharap kakak bisa membaca tulisanku.
Sedang asik dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Aku tetap dibalik selimut tebal itu, tak berani melihat siapa yang datang. Tiba-tiba seseorang mengambil selimut tersebut. Aku gemetar ketakutan. Ternyata itu adalah kakak! Aku tak berani melihat wajahnya. Kepalaku tertunduk. Tangan kakak mengangkat wajahku. Mau tak mau aku melihat wajah kakak. Aku terkejut. Kakak tersenyum padaku! Iya, kakak tersenyum. Aku senang sekali. Aku bisa melihat kakak tersenyum lagi. Senyumnya sama seperti dulu, saat kakak belum sesibuk ini.
Aku menangis. Kakak menghapus air mataku. Dia bertanya, "kenapa menangis?"
Aku tak tau harus menjawab apa. Aku tak tau kenapa aku menangis. Perasaanku sangat senang saat itu. Akhirnya aku bisa melihat senyuman kakak, seperti dulu lagi.
"Terima kasih dik, atas hadiahnya. Selamat atas kemenangannya. Maafkan kakak tadi sempat marah padamu."
"Tidak kak. Aku yang minta maaf mengganggu kakak. Aku yang berterima kasih sama kakak, karena kakak mau memperlihatkan senyum kakak lagi padaku. Terima kasih, kak."
"Sama - sama, dik."
Aku senaaaangg sekali. Akhirnya pengorbananku tidak sia - sia. Aku bisa melihat senyum kakak lagi. Semoga senyum kakak akan selalu ada, dan bisa kulihat kapanpun.
---------------------------------------------------------------------
Written : 10 April 2011
cerpen ini pernah saya share juga di kemudian.com
http://kemudian.com/node/264811
Suka menulis Fiksi? Inilah Panduannya.
Kalau saya, jawabannya, YA! Suka sih suka, lebih tepatnya tertarik untuk menulis fiksi. Beberapa minggu terakhir saya sempatkan untuk rutin menulis. Saya juga menyiapkan satu notes yang khusus berisi ide-ide saya. Tapi untuk menulis sebuah karya, bukan sekedar asal menulis saja. Untuk menghasilkan karya yang bagus, ada baiknya kita belajar bagaimana menulis fiksi yang baik dan benar, yang sesuai dengan aturan. Belajar juga bagaimana tips menghasilkan karya yang bagus.
Saya sendiri terkadang menyempatkan untuk membuka web beberapa penerbit. Disana biasanya tertulis semacam tips atau artikel-artikel mengenai kepenulisan. Bahkan terkadang ada juga lomba-lomba yang diadakan, atau bedah karya pemenang sebuah lomba.
Salah satu penerbit yang saya baca infonya adalah Diva Press dengan CEO-nya yang bernama Edi Akhiles. Diva Press ini banyak mengadakan latihan kepenulisan. Bisa kalian cek langsung di blognya maupun di akun facebook Penerbit DIVA Press. Dan baiknya lagi, Diva Press ini juga membagikan secara gratis silabus yang berisi tata cara atau tips menulis fiksi. #SilabusMenulisFiksi ini saya dapatkan dari blog sang CEO. Kalian juga bisa PM ke akun facebook mereka untuk minta dikirim print out silabus tersebut. Gratis lhoh, cuma bayar ongkos kirim aja.
6. Kalimat tidak kaku
Coba buat narasi dan dialog yang seimbang dan sesuai tempatnya. Kalo narasi terus, kesannya berat dan bikin bosen yang baca. Kalau dialog terus, kesannya jadi ringan dan berkesan ga penting.
7. Tanda baca dalam dialog dan narasi.
Coba belajar penggunaan tanda baca yang bener dulu deh. Yang baca bisa keganggu kalau tanda baca yang kita pakai ini ga pada tempatnya, atau berlebihan.
8. Tips tambahan
Sering2 sharing-kan hasil karyamu, biar tau apa kekurangannya. Banyak baca novel juga, sebagai referensi kita. Dan yang penting, terus berlatih menulis, jangan males kayak saya >.<
---------------------------------------------------------------
Itu kira-kira poin utama yang saya tangkap setelah membaca silabusnya. banyaaak banget tips nya. Silahkan baca sendiri deh.
Berikut link downloadnya :
http://www.mediafire.com/?nz7rd5dzfd2q205
Sumber #SilabusMenulisFiksi :
http://ediakhiles.blogspot.com/2013/04/link-e-book-silabusmenulisfiksi.html
Semoga dengan ini, kalian-kalian (termasuk saya) yang berminat dalam hal menulis fiksi bisa lebih berkembang lagi :D