Aku,
Kamu dan Kedai Ramen Super
Vino melangkahkan
kakinya mencari tempat makan di dekat kampusnya. Tak sengaja Vino melihat plang
kecil bertuliskan Ramen Super. Pastinya tempat itu menjual ramen. Lokasi Ramen
Super ini memang dekat dengan kampusnya, tetapi terletak di sebuah gang yang
cukup kecil. Tadinya Vino ragu untuk masuk, tetapi dia ingin sekali makan ramen
hari itu. Akhirnya Vino pun masuk ke dalam kedai. Tempatnya tidak terlalu
besar. Baru melangkahkan kaki ke dalam kedai tersebut, Vino sudah disambut oleh
sebuah suara. “Konichiwa! Selamat
datang di Kedai Ramen Super!” Tampak seorang cewek berseragam menghampiri Vino.
Cewek itu mengenakan kaos putih yang tertutup oleh semacam celemek berwarna
merah dengan tulisan ‘Ramen Super’ berwarna kuning, rok merah lebar sebatas
lutut serta sepatu boots hampir mencapai lutut. Vino mengikuti pelayan cewek
tadi ke sebuah meja untuk dua orang yang terletak di sudut kedai dan dekat
dengan jendela yang menghadap keluar.
“Mau
pesan apa?” tanya pelayan tadi dengan ramah.
“Hmmm,
yang spesial disini apa ya?” tanya Vino sambil melihat-lihat menu yang ada di
mejanya.
“Yang
spesial dari kami ada Ramen Super Pedas. Kalau tidak suka pedas, bisa juga
mencoba Ramen Super Katsu,” kata pelayan tadi menjelaskan. Lima menit kemudian,
Vino pun menyebutkan pesanannya.
“Ramen
Super Pedas satu dan lemon tea satu.”
Pelayan tadi menuliskan pesanan Vino di sebuah notes
dan mulai berjalan ke area dapur.
Selagi
menunggu, Vino melihat ke sekelilingnya. Pukul tiga sore, dan ada empat buah
meja yang penuh berisi orang. Lumayan
lah, ini kan bukan jam makan siang, pikir Vino. Tiba-tiba seorang cewek
masuk ke dalam kedai. Cewek itu mengenakan celana jeans panjang, kaos putih
berlengan panjang, serta tas selempang berwarna biru muda. Saat cewek itu
berbelok kearah kasir, rambutnya yang panjang sepunggung terayun. Saat itu
juga, Vino terpana, terpesona dengan gerak-gerik cewek tadi. Hingga cewek tadi
duduk di sebuah kursi dekat dengan kasir, mata Vino masih tetap tertuju pada
cewek tadi.
“Silahkan
pesanannya, Ramen Super Pedas satu dan lemon tea satu,” ucap si pelayan. Vino
terkejut. Dia baru sadar sejak tadi dia sibuk memperhatikan seorang cewek.
“Terima
kasih,” ucap Vino. Pelayan itu pun meninggalkan Vino. Vino melihat ke pesanannya.
Wah benar-benar Super Pedas, kuahnya saja
sampai berwarna kemerahan. Seketika, cacing-cacing di perut Vino seolah
berontak dan ingin segera mendapat jatahnya. Vino mengambil sumpit dan mulai
mengaduk ramennya. Namun, aktivitasnya tadi terhenti. Ia teringat bahwa tadi dia
sedang memperhatikan seorang cewek yang berhasil membuatnya terpesona. Vino
buru-buru mengarahkan pandangannya ke arah tempat cewek tadi duduk. Sayang
sekali, disana tak ada siapa-siapa, cewek itu telah pergi. Vino menengok kearah
jendela, dia sempat melihat sosok cewek tadi berjalan menjauhi kedai dan
menghilang di belokan.
“Sial,
cewek itu udah pergi.” Vino menggerutu tanpa sadar. Eh, apa hubungannya juga sama gue, gue kan nggak kenal cewek tadi,
batin Vino. Kira-kira, gue bakalan ketemu
dia lagi nggak ya? Vino bertanya-tanya dalam hati.
Tak
terasa suapan terakhir dari Ramen Super Pedas telah masuk ke mulut Vino. Ramen ini enak, gue harus balik lagi kesini
nih, batin Vino. Vino pun beranjak ke kasir. Setelah membayar makanannya,
Vino melangkahkan kaki menuju kosnya sambil terus memikirkan cewek yang
berhasil membuatnya terpesona tadi.
***
Keesokan
harinya sepulang dari kuliah, Vino kembali mendatangi kedai Ramen Super. Vino
berniat mencoba menu ramen lainnya, seperti Ramen Super Katsu. Vino
melangkahkan kaki ke dalam kedai dan seperti hari sebelumnya, ia disambut
dengan ramah oleh si pelayan. Vino pun duduk di meja dekat jendela, meja yang
sama dengan hari sebelumnya. Vino segera memesan menu yang diinginkannya.
Sambil menunggu
pesanannya datang, Vino melihat-lihat ke sekelilingnya. Dan ia terkejut
mendapati cewek kemarin -cewek yang membuatnya terpesona, duduk di seberang
dekat dinding. Cewek itu sibuk menyuapkan ramennya ke dalam mulutnya. Dia
tampak makan dengan lahap sekali. Vino heran, bagaimana ramen-ramen itu dapat
menjadi daging dan otot bagi cewek itu. Ya, badan cewek itu memang tidak
terlalu besar, tapi cukup kekar, terlihat dari lengannya yang kencang, yang
hari ini tidak tertutup karena dia mengenakan sebuah tanktop bewarna putih. Dia
juga hanya mengenakan celana pendek selutut saja. Santai sekali gayanya. Tapi
yang tetap sama yaitu tas selempang berwarna biru yang tetap dibawanya.
Tepat saat pesanannya
datang, cewek itu telah selesai menghabiskan makanannya dan berjalan menuju kasir.
Vino tampak tak rela melihat cewek itu berjalan meninggalkan kedai. Entah
kenapa, ramen yang enak ini menjadi tak begitu enak. Vino masih memikirkan
cewek itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia harus berani mengajak bicara
cewek itu jika mereka bertemu kembali.
***
Keesokan harinya, Vino
kembali mengunjungi kedai Ramen Super pada jam yang sama. Ia berharap dapat
bertemu lagi dengan cewek itu. Saat masuk kedai, Vino langsung melihat ke
setiap sudut kedai dan ternyata tidak ada cewek itu disana. Vino duduk di
tempatnya biasa dan memesan makanannya, kali ini Ramen Super Seafood. Sampai pesanananya datang,
cewek itu belum muncul juga. Vino berusaha tetap tenang, menunggu kedatangan
cewek itu sambil perlahan menyuapkan ramennya ke mulut. Vino makan dengan amat
lambat, berharap cewek itu datang sebelum Vino selesai makan. Namun, samapai
Vino menghabiskan makanannya pun, cewek itu belum muncul juga. Vino merasa
kecewa.
Hari berikutnya, Vino
datang ke kedai Ramen Super lagi. Menu berikutnya, Ramen Super Kari yang ia
pesan. Saat memasuki kedai, lagi-lagi Vino tak mendapati cewek itu. Vino
kecewa. Ia takut jika cewek itu tidak datang lagi hari ini. Vino sudah sangat
rindu, rindu melihat cewek itu duduk terdiam sambil menunggu pesanannya. Saat
seorang pelayan mengantarkan pesanannya, Vino pun bersuara.
“Maaf, saya mau tanya, mbak
tahu cewek yang hampir tiap hari datang kesini? Yang selalu pakai tas selempang
warna biru muda itu. Tahu nggak?”
“Ah, ya, saya ingat.
Dia sering sekali datang kemari. Terkadang makan disini tapi kadang juga
dibungkus dan dibawa pulang,” ucap pelayan tersebut.
“Apakah mbak melihatnya
kemarin atau hari ini?”
“Sayang sekali, rasanya
saya nggak melihat dia selama dua hari ini. Ada yang bisa saya bantu lagi?”
“Oh, oke, terima kasih.
Sudah ini saja cukup.” Kemudian pelayan itu pun pergi meninggalkan Vino.
Hmmm, ternyata sudah
dua hari cewek itu tidak datang kesini, kemana dia? Vino sibuk bertanya-tanya
dalam hati tanpa tahu jawabannya. Tapi Vino tidak putus asa. Ia tetap datang ke
kedai Ramen Super keesokan harinya. Namun kedatangannya disambut oleh gelengan
si pelayan yang menandakan bahwa cewek yang dia tunggu-tunggu hari ini tidak
datang juga. Vino merasa, dia tidak boleh berlarut-larut menunggu cewek itu, ia
harus mengambil sikap. Vino pun memutuskan untuk datang lagi keesokan harinya,
jika lagi-lagi ia tak bertemu cewek itu, ia memutuskan untuk melupakan cewek
itu.
Hari ini, hari terakhir
Vino akan menunggu cewek itu. Vino melangkahkan kaki ke dalam kedai dengan
perasaan was-was. Rasanya ia tak rela melupakan cewek itu begitu saja tanpa
sempat berkenalan dengannya. Vino duduk di tempatnya biasa dan memesan menu
terakhirnya yang belum ia coba, Ramen Super Dahsyat. Pelayan cewek yang biasa
melayaninya pun tersenyum dan mengucapkan kata semangat padanya.
Tak sampai sepuluh
menit kemudian, masuk lah seorang cewek berambut panjang. Vino tersentak. Itu
kan cewek yang dinantikannya. Hari itu dia tampak berbeda dengan kemeja lengan
pendeknya yang berwarna merah muda beserta rok selutut berwarna biru muda. Tas
selempang yang biasa dikenakannya pun digantikan oleh tas jinjing berwarna
krem. Namun, cewek itu tetap memukau di mata Vino. Vino pun langsung
mendatanginya. Jantungnya berdetak semakin keras seiring langkahnya yang
semakin dekat dengan cewek itu.
“Hai,” ucap Vino. Hanya
satu kata itu saja yang keluar dari bibirnya. Rasa gugup sukses membuatnya
terdiam bagai orang bisu.
“Eh hai juga. Apa gue
kenal sama lo?” tanya cewek itu.
“Eh ya, emm, maksud gue
nggak kenal sih, makanya gue kesini dan pengen kenalan sama lo. Boleh kan?”
tanya Vino berusaha menekan rasa gugupnya. Keringat mengalir lebih deras dari
biasanya membasahi dahi dan pelipisnya.
“Boleh-boleh aja. Gue
Karina, panggil aja Karin,” ucap cewek yang ternyata bernama Karina itu sambil
tersenyum ramah.
“Oh, hai, Karin. Nama
gue Vino. Salam kenal ya.”
Belum sempat mengobrol
lebih lanjut, makanan pesanan Karina datang. Ternyata Karina membawa pulang
makanannya.
“Lo nggak makan disini
aja, Rin?” tanya Vino, berharap bisa mengobrol lebih lama dengan Karina.
“Emm, enggak, Vin.
Sebenernya ini makanan buat saudara gue, dia lagi sakit dan nitip beliin ini ke
gue. Aneh ya saudara gue itu, lagi sakit kok mintanya ramen. Gue sendiri kurang
suka makan ramen kayak gini,”
“Oh gitu. Ya udah deh
nggak apa-apa. Boleh gue minta nomor hp lo nggak? Biar kita bisa makan siang
bareng, mungkin besok atau kapan?” tanya Vino.
“Ya, tentu aja boleh,”
ucap Karina yang kemudia mengetikan nomor hp nya ke ponsel Vino.
“Oke, Rin. Thanks ya. See you tomorrow.”
“Bye, Vin.” Mereka berdua pun mengucapkan salam perpisahan sambil
tersenyum ramah. Tampaknya mereka benar-benar saling tertarik. Vino pun kembali
ke mejanya dan melanjutkan acara makannya dengan wajah berseri-seri.
***
Keesokan harinya,
sesuai janji, Vino dan Karina menghabiskan waktu makan siang bersama. Vino
mengajak Karian ke sebuah restoran pasta tak jauh dari kampus.
“Thanks ya, Vin, udah ngajak gue makan siang bareng,” kata Karina
sembari memamerka senyum ramahnya.
“Sama-sama, Rin. Gue
seneng bisa makan siang dan ngobrol-ngobrol sama lo gini.”
“Lo sering makan pasta
disini, Vin?”
“Enggak juga sih.
Belakangan ini gue lagi demen makan ramen di kedai Ramen Super.” Karena disana
gue bisa liat lo, Rin, tambah Vino dalam hati.
“Habis ini kita mau
kemana nih, Rin?”
“Ke mall aja yuk. Mau
nggak, Vin? Gue udah berapa hari ini nggak sempet ke mall. Lo mau kan nemenin
gue?”
“Emm.. Enggak apa-apa
sih. Ya udah gue temenin. Mau beli apaan emang, Rin?”
“Belom tahu sih mau
beli apa. Yaaa, window shopping aja
lah, kalau ada yang bagus baru deh beli. Tapi gue kayaknya pengen lihat-lihat dress deh. Ntar lo bantu gue pilihan ya,
Vin.”
“Okeee, Rin, ntar gue
temenin deh.”
Sebenarnya Vino paling
malas jalan-jalan ke mall apa lagi tanpa tujuan jelas, keluar masuk dari satu
toko ke toko lainnya. Tapi ini Karina yang minta, mau tak mau ia tak bisa
menolak. Lagi pula, ia kan ingin lebih mengenal Karina.
Sesampainya di mall,
Karina seakan lupa segalanya. Ia menarik tangan Vino memasuki banyak toko.
Banyak dress yang sudah dicobanya
namun belum ada yang dibelinya.
“Vin, yang ini cocok
nggak sama gue?”
“Emmm, bagus kok, Rin,”
jawab Vino malas.
“Aduh, nggak deh, Vin.
Lihat nih warna merahnya nggak cocok di kulit gue. Gue ganti dulu ya,” kata
Karina sambil mencari dress yang
lainnya. Begitulah seterusnya hingga langit menggelap dan Vino mengajak pulang
dengan alasan lelah, barulah acara shopping
mereka –atau lebih tepatnya acara shopping
Karina terhenti. Vino mengantarkan Karina yang ternyata juga tinggal di sebuah
rumah kos, kemudian segera pulang ke kos nya sendiri. Hari ini rasanya Vino
merasa lelah sekali.
Ternyata kedekatan Vino
dan Karina tidak sampai disitu saja. Besok-besoknya, beberapa kali mereka
menghabiskan waktu makan siang bersama. Dan lagi-lagi Karina sering mengajaknya
ke mall. Vino pernah mencoba menolak, namun yang ada Karina malah menekuk
wajahnya. Vino pun mengalah.
Sudah satu minggu lebih
Vino dan Karina menghabiskan waktu bersama. Di hari Sabtu ini, mereka kembali
menghabiskan waktu bersama. Tak lupa Vino menemani Karina shopping. Sepulang
dari mall, Vino mengantar Karina ke kos nya. Belanjaan Karina kali ini cukup
banyak. Jadilah Vino ikut membantu membawakan belanjaannya sampai ke dalam.
Tiba-tiba belanjaan di
tangan Vino pun terjatuh. Ia terkejut mendapati sesosok cewek berambut panjang
yang memukau, dengan tanktop putih dan celana selututnya serta tak lupa tas
selempang biru muda yang berada di bahunya. Di pikiran Vino pun melintas
bayangan sesosok cewek yang sedang berjalan memasuki kedai Ramen Super.
Astaga...
“Rin, gue ke taman dulu
ya, mau cari angin,” ucap cewek itu tanpa mempedulikan keberadaan Vino dan
segera berjalan keluar.
“Vin, lo kenapa?
Ati-ati dong belanjaan gue ntar rusak semua gimana coba,” kata Karina sambil
menekuk wajahnya.
“Sorry, sorry, Rin. Emm, dia siapa ya?”
“Oh, dia itu saudara kembar
gue, yang waktu itu gue ceritain lagi sakit dan nitip ramen ke gue.”
Vino pun terkejut.
Jangan-jangan.... Vino pun segera berpamitan ke Karina dan segera bergegas
keluar.
“Rin, sorry ya gue
buru-buru, gue cabut sekarang ya.”
“Vin, lo mau kemana
sih?” tanya Karina setengah berteriak. Namun Vino berlari semakin menjauh.
***
Di
sebuah taman dekat dengan kos Karina, duduk lah seorang cewek berambut panjang
yang hanya mengenakan tanktop dan celana selutut. Tak jauh dari tempat cewek
itu duduk, terdapat tas selempang yang diletakan di dekat sebuah pohon.
“Hai,”
kata Vino sambil ngos-ngosan.
“Siapa
lo? Kok tiba-tiba dateng, sambil ngos-ngosan lagi,”
“Gue
Vino,” ucap Vino masih ngos-ngosan.
“Gue
nggak kenal lo. Nih, ada minuman, buat lo aja, kasian gue liat lo,” kata cewek
itu sambil melemparkan botol yang sedari tadi dipegangnya ke arah Vino. Vino
segera membuka tutupnya dan menghabiskan air yang ada di dalamnya.
“Thanks,” ucap Vino.
“You’re welcome. Eit, nggak gratis ya.
Gue jadi nggak bisa minum nih,” jawab cewek itu jutek.
“Tenang
aja ntar gue ganti deh. Oh ya, nama lo siapa?”
“Ngapain
lo nanya-nanya nama gue?”
“Pengen
kenalan aja.”
“Tapi
gue nggak pengen kenal sama lo tuh.”
“Yah
kok gitu sih. Nama gue Vino. Nama lo siapa?”
“Lo
pacarnya Karina ya?”
“Bukaaaan.
Cuma temen aja kok. Ayo jangan ngalihin pembicaraan. Nama lo siapa?”
“Ngapain
sih lo nanya-nanya terus. Emang apa perlunya lo tahu nama gue?”
“Karena
gue mau ganti air minum lo tadi. Gue mau nraktir lo makan siang.”
“No, thanks. Gue masih mampu bayar makan
sendiri.”
“Gue
traktir. Terserah lo mau makan apa aja. Tapi kita makannya di kedai Ramen
Super. Gimana?”
“Kedai
Ramen Super? Emmm..” Cewek itu berlagak seolah-olah sedang berpikir. “Boleh
deh. Besok. Jam 1 siang. Kedai Ramen Super. Kalo gue inget dan nggak males ya. Bye, Vino!” kata cewek itu sambil
beranjak, mengambil tas selempangnya dan berlari meninggalkan taman. Vino hanya
bisa terbengong-bengong melihat tingkah cewek itu. Bahkan namanya saja ia belum
tahu. Namun ia pun seketika tersenyum, mengingat janji makan siangnya dengan
cewek itu besok.
***
Keesokan
harinya, tepat pukul 1 siang , Vino sudah duduk di kedai Ramen Super. Tak lama
kemudian, cewek itu pun datang.
“Gue
tahu lo pasti dateng,” ucap Vino sambil tersenyum.
“Kok
lo yakin sih gue bakal dateng?”
“Iya
dong. Emang lo rela nggak makan ramen disini, gratis pula?”
“Nggak
laaaah, Makanan dan tempat favorit gue nih,” ucap cewek itu dan kemudian
langsung menyebutkan pesanannya ke pelayan. Pelayan itu menyebutkan kata selamat
pada Vino, tanpa suara. Vino mengerti itu dan hanya mengedipkan matanya.
“Gue
tahu ini tempat favorit lo. Gue juga sering kesini dan gue sering lihat lo.
Entah kenapa gue tertarik sama lo, pengen kenal sama lo.”
“Lo
kok kayak stalker sih.”
“Bukan
stalker, kebetulan aja gue ketemu lo
terus disini.”
Tak lama kemudian pesanan mereka pun datang. Mereka
mulai makan sambil tetap mengobrol banyak hal sesekali diselingi tawa oleh
keduanya.
“Ternyata
lo asik juga ya anaknya, Vin.”
“Iya
dong. Lo juga asik banget, nona manis. Gue ngerasa nyambung banget sama lo
padahal baru juga ngobrol sekarang. Mau nambah lagi nggak ramennya?”
“Mauuu
dong,” ucap cewek itu bersemangat dan kembali memesan makanan.
“Selera
makan lo besar juga ya, nona manis.”
“Stop
panggil gue nona manis deh, Vin. Kedengerannya terlalu feminin deh, nggak cocok
sama gue!”
“Gue
kan nggak tahu nama lo, nona manis. Tapi jujur, lo emang manis kok,” puji Vino.
Pipi cewek itu pun bersemu merah. Vino sendiri gugup setengah mati.
“Vin,
kan udah gue bilang, jangan panggil gue nona manis lagi. Awas lo! Gue punya
nama tahu, nama gue Karisa.”
“Apa
tadi nama lo? Gue nggak denger.”
“Ka-Ri-Sa.”
Karisa mengeja namanya perlahan.
“Coba
ulangi sekali lagi,” goda Vino.
“Tau
ah, Vin, Gue sebel sama loooo!” ucap Karisa sambil menengokan wajahnya ke
samping, menghindari tatapan Vino.
“Jangan
ngambek gitu dong, nih ramen tahap dua udah dateng nih.” Saat itu pelayan
datang dan meletakan pesanan keduanya.
“Yuk
dimakan lagi nih ramennya. Ayo dong, ntar gue yang habisin lho, non Karisa yang
manis,” goda Vino lagi.
“Vinooo,
apaan sih, itu kan pesanan gue!! Uuh Vino nyebelin deh. Dan stop panggil gue
nona manis!”
“Iya
iya, Karisa manis,” Vino pun terkikik geli melihat ekspresi Karisa.
Begitulah siang itu mereka habiskan mengobrol,
bercanda dan saling tertawa sambil menghabiskan makan siang mereka. Dari
sanalah, kedai Ramen Super, keduanya dipertemukan, dan disanalah juga tempat
keduanya menjadi dekat.
Sejak
saat itu, setiap jam makan siang, Vino dan Karisa selalu bergandengan bersama
menuju kedai Ramen Super. Kedai Ramen Super pun tak pernah lepas dari suara
ramai dan canda tawa dari keduanya.
Written : 31 Mei 2013
0 cuap-cuap:
Posting Komentar