Teater
dalam Drama
Aku menyusuri selasar yang menghubungkan gedung
teknik dan gedung utama menuju ke ruangan UKM teater. Sekarang aku adalah
seorang mahasiswa dan baru saja mendaftarkan diri ke UKM teater. Sejak SMA
kelas dua, aku mulai menekuni seni teater dan sudah merencanakan masuk ke
universitas ini--universitas dengan UKM teaternya yang terkenal bagus. Teman-temanku
sering bertanya-tanya akan perubahanku ini. Sejak SMP aku sudah mulai ikut
dalam band, bahkan saat SMA kelas
satu, bandku mendapat penghargaan band terfavorit pada pensi SMA. Namun, pada
SMA kelas dua, aku tiba-tiba memutuskan mengikuti ekskul teater, bukannya band seperti biasanya. Sejak itulah aku
benar-benar mencoba menekuni bidang teater hingga saat ini.
Sebenarnya aku punya alasan tersendiri atas
perubahan ini, tapi hanya teman terdekatku dan teman-teman SMP ku saja yang
tahu penyebabnya. Dulu, aku mempunyai seorang pacar sejak SMP kelas 3. Dia amat
sangat suka bermain teater, penampilannya pun cukup bagus hingga ia sering
mendapatkan peran dalam tiap audisi drama yang dia ikuti. Dia cantik, berambut
panjang, bersuara lembut. Tidak heran dia pernah memperoleh penghargaan sebagai
pemeran wanita terfavorit se-kota Bandung pada tingkat SMP. Aku –sebagai pacarnya-
merasa sangat bangga dengan kemampuannya itu. Aku rajin menonton pementasannya,
bahkan sekedar latihannya pun tak pernah absen ku tonton.
Sayangnya, kami masuk ke SMA yang berbeda. Aku masuk
ke SMA biasa dan dia masuk ke sebuah sekolah seni, dimana pelajaran seni mengambil
separuh porsi dari total jam sekolah. Ya, dia ingin lebih menekuni bidang seni
teater. Aku -seperti biasa- mengambil ekskul band di sekolahku. Beda sekolah tidak membuat komunikasi kami
menjadi terhambat, aku selalu mengantar jemputnya ke sekolah –yang tak terlalu
jauh dari sekolahku- dan juga menonton serta menyemangatinya dalam tiap drama
yang dia ikuti. Hingga suatu hari di akhir semester satu, seusai pementasan sebuah
drama di sekolahnya, dia mengajakku ke kafe favoritnya. Aku masih ingat jelas
apa yang dikatakannya pada saat itu.
“Ferdy, maaf.
Sebenarnya, aku mengidap penyakit kanker otak. Penyakitku sudah semakin parah.
Lusa aku akan berangkat ke Singapura untuk berobat. Mungkin aku tak akan
kembali lagi. Aku pun tak tahu berapa lama lagi sisa hidupku. Aku ingin kita
berpisah dari sekarang. Aku ingin kamu melupakanku. Kamu pantas mendapatkan
yang lebih baik dari aku, yang lebih bisa ada di sampingmu. Jangan sia-siakan
waktumu untuk mencariku. Terima kasih atas semuanya. Jaga dirimu baik-baik
Ferdy.”
Tanpa kusadari, itu adalah pertemuan terakhir kami.
Dia benar-benar pergi tanpa mengijinkanku melihatnya sekali lagi. Setiap pulang
sekolah aku selalu mendatangi rumahnya, menatap rumah yang sekarang kosong itu,
berharap dia akan keluar dari rumah dan menyapaku lagi. Tapi itu tak pernah
terjadi. Aku ingin ada disampingnya saat dia mengalami masa-masa susah seperti
sekarang, aku ingin dia tetap hidup dan aku ingin selalu ada disampingnya. Tapi
semua sudah berakhir. Dia benar-benar menghilang tanpa bisa kuhubungi lagi. Aku
hanya bisa berdoa dari sini, mengaharapkan kesembuhannya saja. Sejak saat itu,
aku berusaha mendalami seni teater. Aku ingin merasakan kehadirannya setiap aku
bermain teater, mengenang setiap kebiasaannya saat bermain teater, hingga aku
benar-benar melupakan bandku dan
fokus pada teater.
Tak terasa sampai juga aku di ruangan UKM teater.
Tampak sekumpulan orang berdiri di depan papan pengumuman –hasil audisi minggu
lalu-. Setiap awal semester genap, UKM teater selalu mengadakan sebuah
pertunjukan drama. Pemerannya adalah anggota UKM teater yang lolos audisi. Biasanya,
pada minggu pertama –minggu lalu- diadakan audisi terpisah bagi cewek dan
cowok. Lalu, pada minggu kedua –hari ini- keluarlah hasil audisi itu. Audisi diadakan
pada awal masuk sekaligus untuk mengetes kemampuan para angkatan baru.
Drama
yang akan kita mainkan nantinya berjudul “Kejar Mimpi Hingga Akhir”,
menceritakan seorang wanita yang terus menekuni teater hingga ajal menjemputnya
lebih awal karena sebuah penyakit kronis. Dan coba tebak, aku berhasil mendapat
tokoh utama menjadi Andrew, orang yang menyayangi Julia –tokoh utama wanita-
dan selalu menyemangatinya di saat-saat kritis. Aku sungguh senang, tak
menyangka dapat memperoleh peran sebesar ini. Ya, inilah hasil keseriusanku
dalam teater selama masa SMA.
Aku sedang berdiri di depan papan pengumuman,
melihat nama-nama yang berhasil mendapatkan peran di drama ini. Pemeran utama
wanita –sebagai Julia- adalah seorang cewek bernama Cindy. Tiba-tiba, seseorang
di sebelahku bersuara, “Cindy, selamat ya, kamu mendapat peran utama.” Dan
ketika aku menoleh ke sumber suara itu, aku melihat dia. Dia benar-benar Cindy,
mantan pacarku yang meninggalkanku ke Singapura karena penyakit kanker. Merasa
dipehatikan, Cindy pun menoleh kepadaku dan terlihat dari wajahnya, dia pun
sama terkejutnya denganku.
“Cindy? bagaimana kau bisa ada disini?”
“Fer..dy?”
“Kau sudah sembuh?” tanyaku lagi.
“Errr... Itu...” Cindy tampak gugup.
Belum sempat Cindy menjawab pertanyaanku, datang
seorang cewek menghampiri kami, “Cindy, selamat ya, kamu mendapatkan peran
Julia. Benar-benar keren deh kemampuan acting
anak SAS.”
“SAS?” tanyaku.
“Iya, jadi Cindy ini kan lulusan Singapore Art
School. Keren ya. Enggak nyangka ada anak SAS di teater kampus ini. Eh iya,
kamu Ferdy kan? Yang dapat peran Andrew? Selamat ya, Fer. Kamu keren banget.
Kalian berdua keren, baru masuk sudah bisa mendapat peran utama!”
“Ferdy? Peran utama?”
Cindy tampaknya terkejut, menyadari bahwa aku lah
Ferdy yang mendapat peran utama itu. Aku –Ferdy, yang dia kenal sebagai anak band- bisa mendapat peran utama dan
menjadi lawan mainnya di sebuah drama.
“Ya, ini aku. Kamu sendiri, bagaimana bisa? SAS?
Kanker? Aku enggak paham, Cin.”
Kutatap matanya, menunggu penjelasan darinya. Namun
dia hanya terdiam dan tak berani menatapku kembali. Cindy tak kunjung bersuara.
Aku sungguh kesal padanya. Apa maksudnya ini? Lulusan SAS? Lalu, apa itu kanker
otak yang dia bilang sebelum dia pergi ke Singapura dan meninggalkanku?
“Cindy, bisa jelaskan padaku?” Aku tak sabar
menunggunya yang hanya diam saja sedari tadi.
“Fer... Err... Aku bisa jelasin... Itu..” Lagi-lagi,
sebelum Cindy sempat berkata lebih banyak, datang seorang anggota teater dan
menyela pembicaraan kami.
“Cindy sayang, selamat ya, kamu dapat peran Julia.
Harusnya aku yang dapat peran Andrew, pasti lebih dapat chemistry-nya sama kamu. Sayang sekali aku tak memperolehnya,” ucap
sesosok pria -yang kukenali ada juga saat audisi kemarin- seraya merangkul
Cindy.
Sayang? Apa maksud dari perkataannya? Seperti
menyadari kebisuan diantara aku dan Cindy, dia pun bersuara kembali, “Hey, kamu
kan yang mendapat peran Andrew. Apakah
kalian berdua sudah saling mengenal sebelumnya?” Cindy masih diam.
Mengapa Cindy tak menjelaskan apa-apa pada aku dan
‘teman’nya itu? Aku semakin kesal dan kuputuskan untuk...
“Belum, kami belum saling mengenal. Kenalkan, namaku
Ferdy,” ucapku seraya menyalami cowok itu. Ketika aku kemudian mengulurkan
tangan untuk menyalami Cindy, dia diam saja, hanya menatapku tak percaya. Aku
pun menarik tanganku kembali.
“Oh, aku Bryan. Dan ini Cindy, pacarku sejak SMA.
Selamat ya, kamu mendapatkan peran Andrew, padahal aku sangat ingin menjadi
pasangan Cindy di panggung. Hey, Cindy, kenapa kau diam saja?” Bryan menyadari
kekakuan diantara aku dan Cindy. Aku pun memutuskan untuk berpamitan.
“Kau benar-benar ingin peran Andrew? Selalu
menyayangi Julia dan terus di sisinya saat Julia sakit parah?” Sengaja kuberi penekanan pada kalimatku tadi.
“Kau bisa mengambilnya, asal mendapat ijin dari ketua teater kita. Aku pergi
dulu ya. Senang berkenalan dengan kalian, Bryan dan Cindy,” ucapku seraya
memberi penekanan saat mengucapkan nama Cindy.
“Fer...” Cindy memanggil namaku pelan. Kulihat
matanya mulai berkaca-kaca. Aku tak mau peduli. Aku tetap berjalan pergi
meninggalkan mereka.
Pada akhirnya, aku tetap menjadi Andrew dalam drama
ini. Ketua teater tidak mengijinkan adanya pertukaran peran. Mau tak mau aku
harus berdekatan kembali dengan Cindy. Latihan teater diadakan dua kali dalam
satu minggu. Dan sesering itu pula aku bertemu Cindy. Aku bersikap seolah-olah
memang tidak pernah mengenal Cindy. Sebisa mungkin kuhindari mengobrol dengannya.
Aku beberapa kali mendapati Cindy menatapku dengan mata berkaca-kaca, namun aku
berusaha untuk tak memperdulikannya. Aku sudah terlampau sakit hati padanya.
Aku tak ingin mengingat masa-masa saat masih berpacaran dengannya.
Suatu hari, Bryan mendatangiku dan bertanya padaku,
“Sebenarnya ada apa antara kamu dan Cindy? Aku tak percaya jika kalian tak
saling mengenal sebelumnya. Sejak pertemuan hari itu, Cindy menjadi pendiam dan
sering menangis tanpa sebab yang jelas. Aku pun melihat kekakuan diantara
kalian. Sebenarnya ada apa, Fer?”
“Cindy menangis? Mengapa kamu tanyakan itu padaku?
Tanyakan saja pada dia. Kamu kan pacarnya, masa kamu bertanya padaku?” jawabku
ketus. Aku pun segera meninggalkan Bryan. Namun, pikiranku mulai terganggu
dengan kenyataan bahwa Cindy menjadi gadis yang pendiam, pemurung, bahkan
sering menangis tanpa sebab. Cindy yang kukenal adalah gadis periang yang
hampir tak pernah menunjukkan kesedihannya. Kuakui, aku rindu sosok Cindy yang
sering tertawa, bukan Cindy yang menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku pun
memutuskan untuk berbicara pada Cindy.
Saat itu Cindy sedang mengobrol bersama Bryan. Aku
menyela pembicaraan mereka, tak memperdulikan sapaan Bryan. “Cindy, jam biasa
di tempat biasa. See you there,”
ucapku dan aku pun segera meninggalkan mereka diikuti tatapan terkejut Cindy
dan tatapan penuh tanya Bryan.
Aku sudah duduk di taman dekat rumah lama Cindy.
Dulu aku sering menemani Cindy menghafal dialognya di taman ini. Tak lama
kemudian aku melihat Cindy datang mendekatiku.
“Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?” tanyaku.
Cindy menghela nafasnya, seakan berat untuk mengeluarkan suaranya. “Ini
kesempatan terakhirmu, Cindy. Aku tak akan mengajakmu bicara lagi,” ucapku
tegas.
“Baiklah, Ferdy. Maafkan aku atas kejadian waktu
itu. Aku enggak berniat membohongimu. Aku hanya enggak tahu bagaimana
memutuskan hubungan denganmu.”
“Jadi, kamu enggak pernah megidap penyakit kanker
otak? Lalu kamu kabur dariku dengan alasan demikian?”
“Ferdy, saat itu aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan
ke SAS –sekolah impianku-. Dan Bryan –orang yang kukenal saat kompetisi drama
tingkat SMA- juga mendaftar ke SAS. Kami menjadi dekat dan berangkat ke SAS
bersama-sama.” Cindy menghela nafas sesaat. “Maafkan aku, Ferdy. Aku sungguh enggak
tahu bagaimana cara memberitahumu. Aku tak ingin kau menungguku selama aku di
SAS. Aku juga enggak bisa memiliki hubungan jarak jauh, Fer, apalagi beda
negara.”
“Jadi, kamu meninggalkan aku dengan membohongiku
demi bersama dengan Bryan?” ucapku ketus.
“Bukan begitu, Fer. Memang aku dekat dengan Bryan.
Aku pun kagum padanya karena ia cukup ahli dalam seni peran ini. Apalagi kami
akhirnya sama-sama masuk ke SAS, hingga akhirnya kami pun berpacaran.”
“Mengapa kamu enggak jujur saja padaku, Cindy? Aku
selalu sedih membayangkan kamu yang tergolek di atas tempat tidur karena
penyakit kanker. Dan ternyata di sana, kamu malah bersenang-senang dengan
Bryan, haha.”
“Maafkan aku, Fer. Kamu sendiri, bagaimana bisa
terjun ke dunia teater? Bagaimana dengan bandmu?”
“Aku beralih ke teater karena aku ingin meneruskan
apa yang kamu suka, Cindy. Jujur, saat itu aku belum bisa merelakanmu. Aku
masih menyayangimu..” Belum selesai aku berbicara, Cindy memotong ucapanku.
“Aku juga masih menyayangimu, Fer. Aku ingin kembali
padamu. Aku akan memutuskan hubunganku dengan Bryan. Sejak aku melihatmu saat
awal masuk UKM teater, aku kembali teringat pada masa-masa kita dulu. Aku sadar
aku sangat merindukanmu, Fer. Apalagi saat melihatmu dalam teater. Kau tampak
lebih dewasa dan tegas, Fer. Ferdy, maafkan aku. Aku janji enggak akan
menyia-nyiakan kamu lagi. Beri aku kesempatan, Fer.”
“Cindy, aku belum selesai bicara. Saat itu aku
memang belum bisa merelakanmu. Saat itu aku juga masih menyayangimu. Tapi tidak
sekarang. Aku menyayangimu sebagai orang yang pernah mengisi hari-hariku. Rasa
sayangku saat ini bukan lagi seperti rasa sayangku yang dulu. Lagipula aku enggak
mau kamu menyia-nyiakan Bryan sekarang dan menyesal nantinya.”
“Tapi, Fer. Aku sadar, hanya kamu yang aku inginkan.
Aku terus memikirkanmu, Fer. Aku ingin menjadi pacarmu lagi, Fer. Would you?”
“Cindy, status kita sekarang adalah mantan pacar.
Dan maaf, aku enggak bisa menghilangkan kata mantan pada status kita. Terima
kasih atas kisah kita dulu, walaupun harus berakhir pada SMA kelas satu. Itu
akan menjadi kenangan indah. Hanya kenangan. Sekarang, jangan sia-siakan Bryan
seperti kamu menyia-nyiakanku dulu. Selamat tinggal, Cindy.”
Aku pun berjalan meninggalkan Cindy yang masih memanggil
namaku disela isak tangisnya. Maafkan aku, Cindy.
Written : 9 aret 2013
0_o
BalasHapusSumpah, ceritanya cukup unpredictable...